PERKEMBANGAN INDUSTRI BUKU DI YOGYAKARTA
ERA PASCA-SOEHARTO
Sebuah Fenomena
Oleh: Marwoto (NIM: 10130072) PII Klas A
Abstrak
Pasca runtuhnya kekuasaan Orde Baru dan Soeharto, muncul fenomena menarik di kota Yogyakarta yaitu lahirnya penerbit-penerbit buku berskala kecil ala Jogja. Mereka mengusung idealisme bahwa kerja buku adalah kerja kebudayaan sebagai transfer ilmu pengetahuan sehingga tidak bisa dibatasi oleh aturan-aturan procedural kapitalis yang menghambat dan merampas hak rakyat untuk menikmati buku sebagai sumber ilmu. Dengan keberanian, kreatifitas dan idealisme mereka mampu menerbitkan karya-karya alternative yang khas, yang berbeda dengan produk penerbit besar yang sudah mapan (mainstream). Kemasan manajemen kerja yang sederhana membuat produk mereka menjadi lebih murah dan disambut baik oleh masyarakat pembaca yang haus buku.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara umum dunia usaha penerbitan buku di Indonesia belum menjadi bidang usaha yang sangat menguntungkan. Nasib profesi penulispun juga kurang lebih sama, karena imbalan atas jerih payah intelektualnya menulis buku sangat tidak sepadan. Padahal, untuk menulis sebuah buku diperlukan waktu yang lama, berbulan-bulan bahkan kadang bertahun-tahun. Penulis hanya mendapat royalty 10% dari harga jual, itupun dengan oplah yang tidak terlalu besar dan harus menunggu beberapa bulan setelah bukunya laku.
Iklim penerbitan buku di Indonesia pada umumnya dan di kota Yogyakarta (selanjutnya ditulis Jogja) khususnya mulai berkembang secara massif pasca tumbangnya Orde Baru. Pada masa Orde Baru kebebasan masyarakat untuk berpendapat di lingkup public merupakan hal yang sangat beresiko. Namun, pada periode pasca-Soeharto adalah momentum lahirnya sejumlah penerbit di Jogja. Kejatuhan rezim Orde Baru dan Soeharto membawa angin segar bagi industry perbukuan di Jogja. Penerbit-penerbit kecil bermunculan dengan membawa idealisme yang disambut oleh euphoria komunitas intelektual. Menurut ketua IKAPI DIY, Sitoresmi Prabuningrat, ada lebih dari 100 penerbit di DIY pada tahun 2006. Fenomena munculnya banyak penerbit di Jogja dengan karakteristik yang khas ini, tidak terjadi di kota lain sehingga sangat menarik untuk dikaji.
B. Rumusan Masalah
Tulisan ini akan membahas tentang:
Bagaimana tumbuhnya penerbit Jogja pada periode pasca-Soeharto?
Bagaimana karakteristik penerbit Jogja pada periode pasca-Soeharto?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Lingkungan Perbukuan
Dalam konteks perbukuan, Jogja memiliki perangkat yang lengkap. Di kota ini terdapat banyak ilmuwan, cendekiawan, mahasiswa, pelajar, perpustakaan, lembaga kajian, komunitas budaya, seniman, penerbitan, percetakan, toko buku, dan lain-lain. Pengetahuan dan wawasan keilmuan berkembang dengan baik di kota ini. Oleh karena itu, Jogja menjadi kawasan yang ramah untuk lahirnya rumah-rumah penerbitan berskala kecil, komunitas-komunitas penggerak kultur literasi, biro-biro desain grafis kelas rumah kos, dan para penulis dengan kemampuan yang luar biasa.
Salah satu pendukung intelektualitas di kota ini adalah toko buku yang jumlahnya sangat banyak. Para penjual buku loak dulu banyak bertebaran di pinggir-pinggir jalan, kemudia dipusatkan di Shoppping Center. Kota ini bahkan memiliki sejumlah toko buku diskon dan pameran-pameran buku yang memanjakan masyarakat dengan buku-buku murah.
Maraknya rumah-rumah penerbitan di Jogja sebenarnya justru merupakan suatu industry. Pada tahun 2001 saja ada 4.230 judul buku baru yang terbit di kota ini dengan oplah tak kurang 6.480.000 eksemplar. Bandingkan dengan rata-rata judul buku nasional yang terbit tahun1996 yang hanya sebanyak 8.299 eksemplar. Data seperti itu menunjukkan tingginya kreatifitas para pengelola penerbitan tersebut. Pekerjaan yang mereka lakukan itu menjadi penting karena berkontribusi terhadap pengetahuan. Bagi mereka buku adalah salah satu medium penyampai pesan pengetahuan, dan penerbit yang memproduksinya harus berakar pada pemahaman atas pentingnya transfer pengetahuan tersebut.
B. Jogja yang Komunal
Penerbit Jogja bisa lahir karena kebersamaan sebagai sesame teman. Penerbit Merapi adalah sekelompok mahasiswa UGM yang sering berkumpul pada malam hari di warung dekat Mirota Kampus. Penerbit Ombak merupakan komunitas yang digawangi oleh sesame teman di Fakultas Sastra UGM, dll. Pola-pola semacam ini menjadi penting untuk diketahui karena dalam proses berikutnya mempengaruhi ara-ara mereka mengelola rumah-rumah penerbitan. Dengan cara-cara tersebut lahir sejumlah penerbit di Jogja seperti: Bentang Budaya, LKiS, Pustaka Pelajar, Media Pressindo, Sumbu, Jendela, Navilla, Indonesia Tera, Galang Press, Insist Press, KLIK, Merapi, Ar-Ruzz, Jalasutra, Ombak, BukuBaik, Resist Book, Sadassiva, Alinea, dll.
C. Penerbit Alternatif ala Jogja
Yang dimaksud dengan penerbit alternatif adalah di Jogja adalah penerbit yang memiliki sifat melawan kemapanan. Melawan mainstream, baik dari segi isi, pemasaran, maupun semangatnya. Dengan segala perdebatan atas pola-pola kerja dan sikap mereka terhadap industry perbukuan, penerbit-penerbit tersebut memiliki cara pandang yang fleksibel tentang bagaimana sebuah rumah penerbitan didirikan. Pada awalnya tidak ada upaya untuk melengkapi persyaratan menjadi sebuah perusahaan penerbitan. Mereka berhasil merubah paradigma lama tentang penerbitan yang dianggap “agung”, “rumit”, “angker”, menjadi “biasa saja”, “mudah”, dan “tidak menakutkan”. Modal mereka adalah keberanian dalam membuat buku-buku alternatif.
Munculnya penerbit-penerbit Jogja pada awal masa Reformasi dapat diidentifikasi dari hal-hal yang tampak dalam prosesnya yaitu:
1. Diterbitkannya tema-tema buku yang sebelumnya tabu
2. Latar belakang pendirinya kebanyakan adalah aktivis mahasiswa
3. Menerbitkan buku sebagai ekspresi diri baru diikuti oleh kepentingan ekonomi
4. Bermaksud melawan hegemoni sehingga mengesampingkan prosedur
5. Alasan-alasan mereka banyak yang bersifat ideologis.
Sedangkan karakteristik penerbit Jogja adalah sbb.:
1. Berdiri berbekal semangat idealism
2. Tidak didirikan sebagai sebuah usaha bisnis yang murni profit oriented
3. Bermodal pas-pasan
4. Memiliki semangat untuk mendobrak wacana mainstream
5. Mempunyai misi untuk member kesempatan kepada masyarakat dalam memperoleh ilmu atau bacaan yang beragam, memperjuangkan hak pembaca, dan meningkatkan minat baca.
6. Menerbitkan tema-tema buku non-mainstream
7. Latar belakang para pendirinya kebanyakan adalam aktivis mahasiswa
8. Berhasil dengan “sampul buku Jogja”
D. Tudingan Terhadap Penerbit Jogja
Dalam berbagai diskusi di dunia perbukuan dan penerbitan muncul kritik-kritik terhadap perilaku penerbit Jogja. Kritik-kritik tersebut wajar sebagai bagian dari kompetisi bisnis buku antar-penerbit.
1. Resistensi terhadap regulasi
Beberapa Beberapa hal yang tampak dari cara-cara pengelolaan penerbitan oleh para penerbit Jogja di awal kehadirannya antara lain:
a. Membuat lembaga usaha penerbitan tanpa mengurus legalisasi formalnya. Badan usaha, NPWP, SIUP, HO dan faktur pajak adalah komponen-komponen yang mereka urus belakangan.
b. Menerbitkan buku-buku yang secara ideologis masih termasuk dilarang karena belum dicabut ketetapan MPRS tentang pelarangan Marxisme-Komunisme.
c. Menerjemahkan dan menerbitkan buku tanpa mengurus copyright.
d. Tidak selalu mengurus ISBN ke Perpustakaan Nasional.
e. Bukan anggota IKAPI
Di Indonesia ISBN diatur oleh Perpusakaan Nasional dan lembaga itu pula yang memberi nomor ISBN untuk setiap produk buku yang diajukan permohonannya. Hasil nomor ISBN terlihat pada sampul belakang buku. Para penerbit dikenai biaya pengurusan ISBN sebesar Rp. 25.000 per-judul buku. Namun, beberapa penerbit Jogja sejak awal enggan terlibat dalam urusan yang menurut mereka bertele-tele. Karena itu ada penerbit yang tidak mengurus ISBN ke Perpustakaan Nasional sehingga buku terbitannya tanpa ISBN atau dengan nomor sesuka hati.
Para Penerbit di Jogja juga lebih suka memilih jalan sendiri. Mereka enggan menjadi anggota IKAPI walaupun salah satu syaratnya hanyalah sudah menerbitjan lima judul buku, lalu iuran bulanan sebesar Rp.10.000,- per bulan.
2. Terbit tanpa copyright
Banyak penerbit di Indonesia, tidak hanya di Jogja, yang masih menabrak hak cipta atau copyright penerbitan buku terjemahan. Sebagian besar pelanggaran hak cipta itu terjadi pada penerbit Jogja yang biasanya bekerja dengan cepat untuk menerbitkan sejumlah judul dalam waktu singkat. Pelanggaran atas copyright memang tidak hanya dilakukan oleh mereka, banyak penerbit lainnya yang juga melakukan hal yang sama. Namun tudingan lantas lebih mengarah kepada penerbit Jogja karena:
a. Banyaknya jumlah penerbit Jogja yang menerjemahkan serta menerbitkan buku berbahasa asing tanpa mengurus copyright.
b. Judul-judul yang diterjemahkan dan diterbitkan oleh mereka mencolok perhatian karena sebagian besar adalah karya para penulis besar sehingga mengundang pertanyaan soal izin penerjemahan dan penerbitannya.
c. Banyaknya kesamaan buku terjemahan yang diterbitkan tidak hanya oleh satu penerbit, melainkan oleh dua atau tiga penerbit sekaligus.
d. Munculnya anggapan dari para penerbit Jogja yang menerbitkan karya terjemahan bahwa naskah-naskah tersebut sudah masuk dalam kategori public domain karena telah berusia lebih dari 50 tahun, namun mereka tidak memeriksa kebenarannya.
Menanggapi kritik-kritik tersebut, beberapa alasan penerbit Jogja atas sikap mereka yang enggan mengurus hak cipta terjemahan dan penerbitan buku-buku berbahasa asing adalah:
a. Penerjemahan dan penerbitan itu adalah “kerja kebudayaan” demi transfer pengetahuan kepada masyarakat sehingga tidak memerlukan prosedur yang bertingkat.
b. Aturan dan prosedur pengurusan hak cipta adalah salah satu bentuk kapitalisasi oleh Negara-negara Dunia Pertama terhadap Dunia Ketiga.
c. Ketidakmampuan financial para penerbit Jogja untuk membeli hak cipta buku-buku berbahasa asing.
BAB IV
KESIMPULAN
Lahirnya para penerbit Jogja pasca-Soeharto merupakan fenomena menarik yang telah ikut membantu usaha mencerdaskan kehidupan bangsa dan penyediaan bahan bacaan yang lebih beragam serta bermutu bagi masyarakat. Dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya, usaha yang mereka lakukan jelas sesuatu yang positif. Apalagi untuk mendirikan dan mengelola penerbitan membutuhkan keberanian, sejumlah modal, keahlian, dan manajemen yang tidak semua orang mampu menanggung dan melakukannya.
DAFTAR PUSTAKA
Adhe. Declare ! Kamar Kerja Penerbit Jogja 1998-2007. Yogyakarta: Komunitas Penerbit Jogja (KPJ), 2007.
Altbach, Philip. Bunga Rampai Penerbitan dan Pembangunan. Jakarta: Grasindo & Buku Obor, 2000.
Melalui segala potensi yang ada di Perpustakaan... ayo kita jaga alam agar tetap hijau-segar...selamatkan alam...selamatkan masa depan anak-cucu
Rabu, 05 Oktober 2011
Sabtu, 09 Juli 2011
Koleksi Digital = Automasi Perpustakaan ?
Perkembangan dunia perpustakaan sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi terutama Teknologi Informasi karena memang yang menjadi subyek adalah penyebaran informasi. Sekarang informasi bisa dikemas dalam berbagai bentuk dan media, mulai dari media konvensional berupa kertas, maupun media elektronik atau digital. Cara kerja dalam bidang perpustakaan juga berkembang seiring dengan perkembangan teknologi.
Dalam perkembangannya kemudian muncul istilah “Automasi Perpustakaan” kemudian muncul juga istilah “Perpustakaan Digital”. Apakah kedua istilah itu sama maknanya? Apakah bisa dipertukarkan?
Tampaknya memang terjadi salah mengerti terhadap arti dari kedua istilah tersebut, bahkan di kalangan pustakawan sendiri, sebagian menganggap bahwa kedua istilah tersebut sama maknanya, bahwa perpustakaan digital itu adalah automasi perpustakaan. Padahal kedua istilah tersebut jelas-jelas berbeda, dan harus dibedakan.
Lalu apa bedanya ?
Yang dimaksud dengan sistem automasi perpustakaan adalah penerapan teknologi informasi dalam pekerjaan-pekerjaan administrative di perpustakaan sehingga menjadi lebih mudah, efektif dan efisien. Misalnya, dalam pengadaan, pengolahan, sirkulasi, inventarisasi, penyiangan koleksi, OPAC, manajemen keanggotaa, dll. Sedangkan koleksi digital adalah implementasi teknologi informasi agar dokumen (koleksi) digital bisa dikumpulkan, diolah, disebarluaskan, diakses secara elektronik. Dapat diumpamakan sebagai wadah untuk menyimpan koleksi perpustakaan yang sudah dalam bentuk digital. Koleksi digital merupakan bagian dari sistem perpustakaan yang lebih luas yang melingkupinya.
Dalam perkembangannya kemudian muncul istilah “Automasi Perpustakaan” kemudian muncul juga istilah “Perpustakaan Digital”. Apakah kedua istilah itu sama maknanya? Apakah bisa dipertukarkan?
Tampaknya memang terjadi salah mengerti terhadap arti dari kedua istilah tersebut, bahkan di kalangan pustakawan sendiri, sebagian menganggap bahwa kedua istilah tersebut sama maknanya, bahwa perpustakaan digital itu adalah automasi perpustakaan. Padahal kedua istilah tersebut jelas-jelas berbeda, dan harus dibedakan.
Lalu apa bedanya ?
Yang dimaksud dengan sistem automasi perpustakaan adalah penerapan teknologi informasi dalam pekerjaan-pekerjaan administrative di perpustakaan sehingga menjadi lebih mudah, efektif dan efisien. Misalnya, dalam pengadaan, pengolahan, sirkulasi, inventarisasi, penyiangan koleksi, OPAC, manajemen keanggotaa, dll. Sedangkan koleksi digital adalah implementasi teknologi informasi agar dokumen (koleksi) digital bisa dikumpulkan, diolah, disebarluaskan, diakses secara elektronik. Dapat diumpamakan sebagai wadah untuk menyimpan koleksi perpustakaan yang sudah dalam bentuk digital. Koleksi digital merupakan bagian dari sistem perpustakaan yang lebih luas yang melingkupinya.
Jumat, 22 April 2011
Rabu, 23 Maret 2011
Penerapan Teknologi Informasi di Perpustakaan AKPER
TEKNOLOGI INFORMASI
DI PERPUSTAKAAN
AKPER SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
YOGYAKARTA
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penerapan Teknologi Informasi (selanjutnya disebut TI) saat ini telah menyebar hampir di semua bidang tidak terkecuali di perpustakaan. Perpustakaan sebagai institusi pengelola informasi merupakan salah satu bidang penerapan teknologi informasi yang berkembang dengan pesat. Perkembangan dari penerapan teknologi informasi bisa kita lihat dari perkembangan jenis perpustakaan yang selalu berkaitan dengan dengan teknologi informasi, diawali dari perpustakaan manual, perpustakaan terautomasi, perpustakaan digital atau cyber library. Kemajuan perpustakaan banyak diukur dari penerapan teknologi informasi yang digunakan dan bukan dari skala ukuran lain seperti besar gedung yang digunakan, jumlah koleksi yang tersedia maupun jumlah penggunanya. Kebutuhan akan TI sangat berhubungan dengan peran dari perpustakaan sebagai kekuatan dalam pelestarian dan penyebaran informasi ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang berkembang seiring dengan menulis, mencetak, mendidik dan kebutuhan manusia akan informasi. Perpustakaan membagi rata informasi dengan cara mengidentifikasi, mengumpulkan, mengelola dan menyediakanya untuk umum.
Adapun faktor-faktor penggerak penerapan TI di perpusakaan adalah sbb.:
· Kemudahan mendapatkan produk TI
· Harga semakin terjangkau untuk memperoleh produk TI
· Kemampuan dari teknologi informasi
· Tuntutan layanan masyarakat serba “klick”
Selain faktor-faktor di atas ada alasan lain yang menuntut penerapan TI di perpustakaan, yaitu:
· Mengefisiensikan dan mempermudah pekerjaan dalam perpustakaan
· Memberikan layanan yang lebih baik kepada pengguna perpustakaan
· Meningkatkan citra perpustakaan
· Pengembangan infrastruktur nasional, regional dan global. (Supriyanto dan Muhsin, 2008)
B. PENGERTIAN
Ada beberapa definisi Teknologi Informasi (selanjutnya disebut TI) yang dikemukakan oleh beberapa ahli, di antaranya menurut Haag dan Keen (1996), yang menyatakan bahwa TI adalah seperangkat alat yang membantu anda bekerja dengan informasi dan melakukan tugas-tugas yang berhubungan dengan pemrosesan informasi. Sedangkan menurut Martin (1999), TI tidak hanya terbatas pada teknologi computer (perangkat keras dan perangkat lunak) yang digunakan untuk memproses dan menyimpan informasi, melainkan juga mencakup teknologi komunikasi untuk mengirimkan informasi. Perkembangan selanjutnya Williams dan Sawyer (2003) melengkapi bahwa pengertian TI yaitu teknologi yang menggabungkan komputasi (computer) dengan jalur komunikasi berkecepatan tinggi yang membawa data, suara, dan video. Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa TI adalah gabungan antara teknologi computer dan teknologi telekomunikasi. (Kadir, 2005). TI di perpustakaan berarti pemanfaatan secara optimal TI dalam semuan aktivitas di lingkup perpustakaan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. MANFAAT TI DI PERPUSTAKAAN
Manfaat penggunaan TI dalam bidang perpustakaan antara lain sbb.:
1. Meningkatkan kualitas layanan
Peningkatan kualitas layanan pada kecepatanpencarian referensi , kelengkapan data referensi, keberadaan buku, kondisi buku, peminjaman, pembuatan KTA, dan akses.
2. Memberikan kemudahan dalam pengambilan keputusan
Pengambilan keputusan baik bagi pengguna maupun pengelola perpustakaan menjadi cepat dan akurat dengan ketersediaan data-data. Bagi pengguna, misal menentukan referensi mana yang akan dipinjam, kondisi buku lama dan baru, alternative pengganti jika buku sedang dipinjam, kapan dikembalikan dsb. Bagi pengelola, misal memutuskan penerimaan anggota, jumlah denda, keberadaan buku, jumlah buku, keperluan pengadaan, dan penataan koleksi.
3. Pengembangan automasi perpustakaan
Perpustakaan sebagai pilar utama dalam melestarikan dan menyediakan informasi ilmu pengetahuan perlu didukung TI, seiring dengan berkembang dan beragamnya kegiatan menulis, mencetak, mendidik, dan pemenuhan kebutuhan masyarakat akan informasi. Penerapan TI di perpustakaan difungsika untuk mengidentifikasi, mengumpulkan, dan mengelola data-data dalam bentuk basis data serta menyediakanya menjadi informasiyang berguna bagi masyarakat dalam kemasan digital yang fleksibel dan mudah dibagikan. (Supriyanto dan Muhsin, 2008)
B. PENERAPAN TI DI PERPUSTAKAAN
Penerapan TI di perpustakaan dapat difungsikan dalam berbagai bentuk, antara lain:
1. Penerapan teknologi informasi digunakan sebagai Sistem Informasi Manajemen Perpustakaan. Bidang pekerjaan yang dapat diintegrasikan dengan sistem informasi perpustakaan adalah pengadaan, inventarisasi, katalogisasi, sirkulasi bahan pustaka, pengelolaan anggota, statistik dan lain sebagainya. Fungsi ini sering diistilahkan sebagai bentuk Automasi Perpustakaan.
2. Penerapan teknologi informasi sebagai sarana untuk menyimpan, mendapatkan dan menyebarluaskan informasi ilmu pengetahuan dalam format digital. Bentuk penerapan TI dalam perpustakaan ini sering dikenal dengan Perpustakaan Digital.
Kedua fungsi penerapan TI ini dapat terpisah maupun terintegrasi dalam suatu sistem informasi tergantung dari kemampuan software yang digunakan, sumber daya manusia dan infrastruktur peralatan teknologi informasi yang mendukung keduanya. Dalam makalah ini selanjutnya akan membahas tentang automasi perpustakaan. (Arif, 2003)
C. AUTOMASI PERPUSTAKAAN
1. Cakupan
Cakupan dari Automasi Perpustakaan, meliputi:
· Pengadaan koleksi
· Katalogisasi, inventarisasi
· Sirkulasi, reserve, inter-library loan
· Pengelolaan penerbitan berkala
· Penyediaan katalog (OPAC)
· Pengelolaan basis data koleksi
· Pengelolaan anggota
· Pengelolaan data-data statistic
2. Piranti
Piranti yang dibutuhkan untuk automasi perpustakaan dalam hal ini untuk lingkup akademi keperawatan (AKPER) adalah sbb.:
a. Hardware:
· 1 unit komputer server dengan spesifikasi:
monitor lcd = 17 inci
prosessor = Intel Core 2 duo
memory (RAM) = 4 GB
harddisk = 500 GB
Sistem operasi = Linux
IP = 192.168.8.1
· 5 unit computer client (1 untuk sirkulasi, 1 untuk petugas, 1 untuk presensi pengunjung, dan 2 untuk OPAC).
· Printer
· Scanner
· Barcode reader
b. Software
Software terdiri dari dua macam yaitu software system dan software aplikasi. Software system untuk computer server menggunakan Linux, sedangkan untuk computer client memakai Windows XP.
Sedangkan perangkat lunak aplikasi untuk automasi menggunakan program open source SLIMS (Senayan Library Management System), versi terbaru SLIMS 3 stable 14. Sofware ini adalah buatan pustakawan Indonesia dengan Hendro Wicaksono sebagai lead developer, karena didesain oleh pustakawan maka fitur-fitur yang tersedia benar-benar sesuai dengan kebutuhan automasi di perpustakaan. Menu yang tersedia pada versi terbaru SLIMS 3 Stable 14 yaitu :
· OPAC
· Pengolahan Bibliografi, termasuk pembuatan label buku dan pencetakan barcode koleksi.
· Sirkulasi
· Keanggotaan, termasuk pembuatan kartu anggota
· Master file
· Inventarirasi koleksi
· Sistem
· Pelaporan, untuk membuat laporan / statistic mengenai koleksi, anggota, sirkulasi, dan statistic lainnya.
· Terbitan berkala.
· Presensi pengunjung. (demo tampilan masing-masing menu dapat dilihat pada lampiran ilustrasi gambar).
c. Internet
Manfaat internet untuk pengelolaan perpustakaan adalah sebagai peranti untuk mengakses informasi multimedia dari internet, serta sebagai sarana telekomunikasi dan distribusi informasi. Koneksi internet juga bisa digunakan untuk membuat homepage perpustakaan, yang bisa digunakan untuk menyebarluaskan katalog dan informasi.
d. Database
Database merupakan kumpulan informasi yang disusun berdasarkan cara tertentu dan merupakan satu kesatuan yang utuh dengan sistem tersebut. Data yang terhimpun dalam suatu database yang dapat menghasilkan informasi yang berguna.
e. Topografi jaringan

BAB III
KESIMPULAN
Tak bisa dipungkiri lagi, perkembangan Teknologi Informasi telah maju sangat pesat. Semua bidang kehidupan hampir tidak ada lagi yang tidak mendapat sentuhan “keajaiban” TI. Termasuk dalam hal ini adalah bidang perpustakaan yang dituntut untuk menjadi tulang punggung dalam menghimpun, mengolah, dan mendesiminasikan informasi kepada para pengguna, sehingga penerapan TI di perpustakaan menjadi suatu hal yang tak dapat dihindarkan, bahkan menjadi suatu kebutuhan. Pustakawan sebaiknya memandang TI bukan sebagai lawan, tetapi justru melihatnya sebagai kawan yang dapat dimanfaatkan untuk menunjang tugas-tugas kepustakawanan dengan lebih efektif dan efisien.
Pemanfaatan TI di perpustakaan akan sangat bergantung dari kesiapan SDM perpustakaan itu sendiri. Akan tetapi siap atau tidak siap perpustakaan harus menerima kehadirannya. Ada beberapa alasan mengapa TI harus diterima di perpustakaan, yaitu:
1. Tuntutan terhadap jumlah dan mutu layanan
Pemustaka sekarang sudah menuntut jenis layanan yang sangat maju, seperti layanan informasi terbaru, layanan informasi terseleksi, layanan penelusuran online, dll.
2. Tuntutan terhadap penggunaan koleksi bersama
3. Kebutuhan untuk mengefektifkan SDM
4. Tuntutan terhadap efisiensi waktu
5. Keragaman informasi yang dikelola
6. Kebutuhan akan kecepatan dan ketepatan informasi
LAMPIRAN
Tampilan Menu dalam aplikasi software automasi perpustakaan
SLIMS
Versi 3 Stable 14

Gambar Tampilan Menu OPAC

Gambar Tampilan Menu Presensi Pengunjung

Gambar Tampilan Menu Utama

Gambar Tampilan Menu Bibliografi

Gambar Tampilan Menu Cetak Barcode Koleksi

Gambar Tampilan Menu Cetak Label Koleksi

Gambar Tampilan Menu Daftar Koleksi

Gambar Tampilan Menu Pencetakan Kartu Anggota

Gambar Tampilan Menu Sirkulasi

Gambar Tampilan Menu Sejarah Peminjaman

Gambar Tampilan Menu Laporan Koleksi
Langganan:
Postingan (Atom)