Total Tayangan Halaman

Rabu, 05 Oktober 2011

Penerbitan Buku di Jogja Pasca Orde Baru

PERKEMBANGAN INDUSTRI BUKU DI YOGYAKARTA
ERA PASCA-SOEHARTO
Sebuah Fenomena
Oleh: Marwoto (NIM: 10130072) PII Klas A

Abstrak
Pasca runtuhnya kekuasaan Orde Baru dan Soeharto, muncul fenomena menarik di kota Yogyakarta yaitu lahirnya penerbit-penerbit buku berskala kecil ala Jogja. Mereka mengusung idealisme bahwa kerja buku adalah kerja kebudayaan sebagai transfer ilmu pengetahuan sehingga tidak bisa dibatasi oleh aturan-aturan procedural kapitalis yang menghambat dan merampas hak rakyat untuk menikmati buku sebagai sumber ilmu. Dengan keberanian, kreatifitas dan idealisme mereka mampu menerbitkan karya-karya alternative yang khas, yang berbeda dengan produk penerbit besar yang sudah mapan (mainstream). Kemasan manajemen kerja yang sederhana membuat produk mereka menjadi lebih murah dan disambut baik oleh masyarakat pembaca yang haus buku.

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara umum dunia usaha penerbitan buku di Indonesia belum menjadi bidang usaha yang sangat menguntungkan. Nasib profesi penulispun juga kurang lebih sama, karena imbalan atas jerih payah intelektualnya menulis buku sangat tidak sepadan. Padahal, untuk menulis sebuah buku diperlukan waktu yang lama, berbulan-bulan bahkan kadang bertahun-tahun. Penulis hanya mendapat royalty 10% dari harga jual, itupun dengan oplah yang tidak terlalu besar dan harus menunggu beberapa bulan setelah bukunya laku.
Iklim penerbitan buku di Indonesia pada umumnya dan di kota Yogyakarta (selanjutnya ditulis Jogja) khususnya mulai berkembang secara massif pasca tumbangnya Orde Baru. Pada masa Orde Baru kebebasan masyarakat untuk berpendapat di lingkup public merupakan hal yang sangat beresiko. Namun, pada periode pasca-Soeharto adalah momentum lahirnya sejumlah penerbit di Jogja. Kejatuhan rezim Orde Baru dan Soeharto membawa angin segar bagi industry perbukuan di Jogja. Penerbit-penerbit kecil bermunculan dengan membawa idealisme yang disambut oleh euphoria komunitas intelektual. Menurut ketua IKAPI DIY, Sitoresmi Prabuningrat, ada lebih dari 100 penerbit di DIY pada tahun 2006. Fenomena munculnya banyak penerbit di Jogja dengan karakteristik yang khas ini, tidak terjadi di kota lain sehingga sangat menarik untuk dikaji.
B. Rumusan Masalah
Tulisan ini akan membahas tentang:
Bagaimana tumbuhnya penerbit Jogja pada periode pasca-Soeharto?
Bagaimana karakteristik penerbit Jogja pada periode pasca-Soeharto?


BAB II
PEMBAHASAN
A. Lingkungan Perbukuan
Dalam konteks perbukuan, Jogja memiliki perangkat yang lengkap. Di kota ini terdapat banyak ilmuwan, cendekiawan, mahasiswa, pelajar, perpustakaan, lembaga kajian, komunitas budaya, seniman, penerbitan, percetakan, toko buku, dan lain-lain. Pengetahuan dan wawasan keilmuan berkembang dengan baik di kota ini. Oleh karena itu, Jogja menjadi kawasan yang ramah untuk lahirnya rumah-rumah penerbitan berskala kecil, komunitas-komunitas penggerak kultur literasi, biro-biro desain grafis kelas rumah kos, dan para penulis dengan kemampuan yang luar biasa.
Salah satu pendukung intelektualitas di kota ini adalah toko buku yang jumlahnya sangat banyak. Para penjual buku loak dulu banyak bertebaran di pinggir-pinggir jalan, kemudia dipusatkan di Shoppping Center. Kota ini bahkan memiliki sejumlah toko buku diskon dan pameran-pameran buku yang memanjakan masyarakat dengan buku-buku murah.
Maraknya rumah-rumah penerbitan di Jogja sebenarnya justru merupakan suatu industry. Pada tahun 2001 saja ada 4.230 judul buku baru yang terbit di kota ini dengan oplah tak kurang 6.480.000 eksemplar. Bandingkan dengan rata-rata judul buku nasional yang terbit tahun1996 yang hanya sebanyak 8.299 eksemplar. Data seperti itu menunjukkan tingginya kreatifitas para pengelola penerbitan tersebut. Pekerjaan yang mereka lakukan itu menjadi penting karena berkontribusi terhadap pengetahuan. Bagi mereka buku adalah salah satu medium penyampai pesan pengetahuan, dan penerbit yang memproduksinya harus berakar pada pemahaman atas pentingnya transfer pengetahuan tersebut.

B. Jogja yang Komunal
Penerbit Jogja bisa lahir karena kebersamaan sebagai sesame teman. Penerbit Merapi adalah sekelompok mahasiswa UGM yang sering berkumpul pada malam hari di warung dekat Mirota Kampus. Penerbit Ombak merupakan komunitas yang digawangi oleh sesame teman di Fakultas Sastra UGM, dll. Pola-pola semacam ini menjadi penting untuk diketahui karena dalam proses berikutnya mempengaruhi ara-ara mereka mengelola rumah-rumah penerbitan. Dengan cara-cara tersebut lahir sejumlah penerbit di Jogja seperti: Bentang Budaya, LKiS, Pustaka Pelajar, Media Pressindo, Sumbu, Jendela, Navilla, Indonesia Tera, Galang Press, Insist Press, KLIK, Merapi, Ar-Ruzz, Jalasutra, Ombak, BukuBaik, Resist Book, Sadassiva, Alinea, dll.

C. Penerbit Alternatif ala Jogja
Yang dimaksud dengan penerbit alternatif adalah di Jogja adalah penerbit yang memiliki sifat melawan kemapanan. Melawan mainstream, baik dari segi isi, pemasaran, maupun semangatnya. Dengan segala perdebatan atas pola-pola kerja dan sikap mereka terhadap industry perbukuan, penerbit-penerbit tersebut memiliki cara pandang yang fleksibel tentang bagaimana sebuah rumah penerbitan didirikan. Pada awalnya tidak ada upaya untuk melengkapi persyaratan menjadi sebuah perusahaan penerbitan. Mereka berhasil merubah paradigma lama tentang penerbitan yang dianggap “agung”, “rumit”, “angker”, menjadi “biasa saja”, “mudah”, dan “tidak menakutkan”. Modal mereka adalah keberanian dalam membuat buku-buku alternatif.
Munculnya penerbit-penerbit Jogja pada awal masa Reformasi dapat diidentifikasi dari hal-hal yang tampak dalam prosesnya yaitu:

1. Diterbitkannya tema-tema buku yang sebelumnya tabu
2. Latar belakang pendirinya kebanyakan adalah aktivis mahasiswa
3. Menerbitkan buku sebagai ekspresi diri baru diikuti oleh kepentingan ekonomi
4. Bermaksud melawan hegemoni sehingga mengesampingkan prosedur
5. Alasan-alasan mereka banyak yang bersifat ideologis.
Sedangkan karakteristik penerbit Jogja adalah sbb.:
1. Berdiri berbekal semangat idealism
2. Tidak didirikan sebagai sebuah usaha bisnis yang murni profit oriented
3. Bermodal pas-pasan
4. Memiliki semangat untuk mendobrak wacana mainstream
5. Mempunyai misi untuk member kesempatan kepada masyarakat dalam memperoleh ilmu atau bacaan yang beragam, memperjuangkan hak pembaca, dan meningkatkan minat baca.
6. Menerbitkan tema-tema buku non-mainstream
7. Latar belakang para pendirinya kebanyakan adalam aktivis mahasiswa
8. Berhasil dengan “sampul buku Jogja”

D. Tudingan Terhadap Penerbit Jogja
Dalam berbagai diskusi di dunia perbukuan dan penerbitan muncul kritik-kritik terhadap perilaku penerbit Jogja. Kritik-kritik tersebut wajar sebagai bagian dari kompetisi bisnis buku antar-penerbit.
1. Resistensi terhadap regulasi
Beberapa Beberapa hal yang tampak dari cara-cara pengelolaan penerbitan oleh para penerbit Jogja di awal kehadirannya antara lain:
a. Membuat lembaga usaha penerbitan tanpa mengurus legalisasi formalnya. Badan usaha, NPWP, SIUP, HO dan faktur pajak adalah komponen-komponen yang mereka urus belakangan.
b. Menerbitkan buku-buku yang secara ideologis masih termasuk dilarang karena belum dicabut ketetapan MPRS tentang pelarangan Marxisme-Komunisme.
c. Menerjemahkan dan menerbitkan buku tanpa mengurus copyright.
d. Tidak selalu mengurus ISBN ke Perpustakaan Nasional.
e. Bukan anggota IKAPI

Di Indonesia ISBN diatur oleh Perpusakaan Nasional dan lembaga itu pula yang memberi nomor ISBN untuk setiap produk buku yang diajukan permohonannya. Hasil nomor ISBN terlihat pada sampul belakang buku. Para penerbit dikenai biaya pengurusan ISBN sebesar Rp. 25.000 per-judul buku. Namun, beberapa penerbit Jogja sejak awal enggan terlibat dalam urusan yang menurut mereka bertele-tele. Karena itu ada penerbit yang tidak mengurus ISBN ke Perpustakaan Nasional sehingga buku terbitannya tanpa ISBN atau dengan nomor sesuka hati.
Para Penerbit di Jogja juga lebih suka memilih jalan sendiri. Mereka enggan menjadi anggota IKAPI walaupun salah satu syaratnya hanyalah sudah menerbitjan lima judul buku, lalu iuran bulanan sebesar Rp.10.000,- per bulan.

2. Terbit tanpa copyright
Banyak penerbit di Indonesia, tidak hanya di Jogja, yang masih menabrak hak cipta atau copyright penerbitan buku terjemahan. Sebagian besar pelanggaran hak cipta itu terjadi pada penerbit Jogja yang biasanya bekerja dengan cepat untuk menerbitkan sejumlah judul dalam waktu singkat. Pelanggaran atas copyright memang tidak hanya dilakukan oleh mereka, banyak penerbit lainnya yang juga melakukan hal yang sama. Namun tudingan lantas lebih mengarah kepada penerbit Jogja karena:
a. Banyaknya jumlah penerbit Jogja yang menerjemahkan serta menerbitkan buku berbahasa asing tanpa mengurus copyright.
b. Judul-judul yang diterjemahkan dan diterbitkan oleh mereka mencolok perhatian karena sebagian besar adalah karya para penulis besar sehingga mengundang pertanyaan soal izin penerjemahan dan penerbitannya.
c. Banyaknya kesamaan buku terjemahan yang diterbitkan tidak hanya oleh satu penerbit, melainkan oleh dua atau tiga penerbit sekaligus.
d. Munculnya anggapan dari para penerbit Jogja yang menerbitkan karya terjemahan bahwa naskah-naskah tersebut sudah masuk dalam kategori public domain karena telah berusia lebih dari 50 tahun, namun mereka tidak memeriksa kebenarannya.

Menanggapi kritik-kritik tersebut, beberapa alasan penerbit Jogja atas sikap mereka yang enggan mengurus hak cipta terjemahan dan penerbitan buku-buku berbahasa asing adalah:
a. Penerjemahan dan penerbitan itu adalah “kerja kebudayaan” demi transfer pengetahuan kepada masyarakat sehingga tidak memerlukan prosedur yang bertingkat.
b. Aturan dan prosedur pengurusan hak cipta adalah salah satu bentuk kapitalisasi oleh Negara-negara Dunia Pertama terhadap Dunia Ketiga.
c. Ketidakmampuan financial para penerbit Jogja untuk membeli hak cipta buku-buku berbahasa asing.

BAB IV
KESIMPULAN
Lahirnya para penerbit Jogja pasca-Soeharto merupakan fenomena menarik yang telah ikut membantu usaha mencerdaskan kehidupan bangsa dan penyediaan bahan bacaan yang lebih beragam serta bermutu bagi masyarakat. Dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya, usaha yang mereka lakukan jelas sesuatu yang positif. Apalagi untuk mendirikan dan mengelola penerbitan membutuhkan keberanian, sejumlah modal, keahlian, dan manajemen yang tidak semua orang mampu menanggung dan melakukannya.






DAFTAR PUSTAKA

Adhe. Declare ! Kamar Kerja Penerbit Jogja 1998-2007. Yogyakarta: Komunitas Penerbit Jogja (KPJ), 2007.
Altbach, Philip. Bunga Rampai Penerbitan dan Pembangunan. Jakarta: Grasindo & Buku Obor, 2000.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar