Total Tayangan Halaman

Jumat, 08 November 2013

Menggarap Fungsi Rekreasi Perpustakaan



MENGGARAP FUNGSI REKREASI
SEBAGAI UPAYA MENDEKATKAN PERPUSTAKAAN DENGAN MASYARAKAT

             
            Pernahkan kita bayangkan bagaimana orang berekreasi ke perpustakaan? Barangkali hal ini masih jauh dari bayangan masyarakat kita. Selama ini image perpustakaan sebagai tempat yang bersifat rekreatif nampaknya belum terbersit dalam benak masyarakat. Destinasi rekreasi umumnya ke pantai, gunung, atau tempat wisata menarik lainnya, tapi tidak ke perpustakaan.  Hal ini tidak sepenuhnya salah, karena barangkali memang itulah yang mereka rasakan selama ini mengenai perpustakaan. Secara umum pemustaka dan masyarakat luas masih memandang perpustakaan sebagai tempat yang terkesan serius, resmi, ilmiah, sunyi, tak menyenangkan dan seterusnya.  Padahal, salah satu fungsi perpustakaan adalah sebagai wahana rekreasi kultural bagi para pemustaka atau dalam arti yang lebih luas sebagai tempat untuk menyegarkan badan pikiran, sehingga setelah berkunjung ke perpustakaan pikiran menjadi fresh kembali. Berdasarkan fungsi ini maka seyogyanya perpustakaan mampu menyediakan berbagai hal dan aspek terkait agar fungsi rekreatif bisa berjalan dengan baik. Apabila perpustakaan mampu menciptakan suasana yang rekreatif, menghibur, menyenangkan tanpa menghilangkan sisi edukatif, maka hal ini bisa dimanfaatkan sebagai salah satu sarana untuk meningkatkan minat masyarakat untuk mengunjungi perpustakaan, sehingga akhirnya masyarakat menjadi “dekat” dengan perpustakaan. Kata dekat yang dimaksudkan di sini adalah masyarakat menjadi sadar akan pentingnya perpustakaan dalam kehidupan sehari-hari dan menjadikan perpustakaan sebagai sumber informasi untuk mendapatkan solusi bagi berbagai masalah yang dihadapi.
            Ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian bagi pengelola perpustakaan agar pemustaka senang berkunjung ke perpustakaan, bahkan merasa berkunjung ke perpustakaan sebagai sebuah kebutuhan. Semua aktivitas di perpustakaan harus berorientasi kepada pemustaka, karena keberadaan perpustakaan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan pemustaka. Faktor-faktor yang perlu mendapat perhatian agar fungsi rekreatif bisa tercapai dengan baik adalah: desain gedung yang menarik, kenyamanan ruang perpustakaan, sarana prasarana, kualitas koleksi, kemudahan prosedur, sikap dan perilaku pustakawan, serta promosi.
            Ibarat orang desain gedung merupakan wajah, citra yang secara langsung tertangkap indra mata orang yang memandangnya. Desain gedung akan menentukan kesan pertama bagi siapa saja yang melihatnya. Oleh karena itu, gedung perpustakaan harus dibuat semenarik, seindah dan seunik mungkin sehingga orang yang pertama kali melihat langsung berkomentar: “Wouw!” atau “Bagus ya”, atau “Wiih keren”, kemudian “Pengin dong ke sana.” Selanjutnya “Kita ke perpus yuuk.” Apabila hal ini bisa terwujud, maka perpustakaan akan menjadi salah satu tempat favorit untuk dikunjungi.
            Kenyamanan ruang perpustakaan memegang peranan cukup besar di dalam menciptakan kesan rekreatif bagi pemustaka. Apabila ruang perpustakaan tidak nyaman, maka sulit untuk membuat pemustaka menjadi pengunjung yang setia. Ruang perpustakaan yang nyaman tidak mesti mahal dan mewah. Kreativitas dan inovasi pustakawan sangat diperlukan untuk menciptakan suasana yang “enak” di perpustakaan. Suasana nyaman bisa dicapai dengan merancang sirkulasi udara yang baik, penataan ruang yang harmonis sekaligus tetap fungsional, desain perabot yang menarik, segar, luwes sehingga memberi kesan rileks, tata warna yang segar sehingga membuat suasana menjadi menyenangkan. Apabila rasa enak dan nyaman bisa diciptakan, maka pemustaka bisa belajar sambil refreshing atau sebaliknya refreshing sambil belajar.
            Dari sisi koleksi yang disediakan, perpustakaan harus mengembangkan koleksi secara seimbang antara koleksi yang bersifat ilmiah dan koleksi bacaan ringan yang bersifat menghibur, koleksi yang berkaitan dengan khazanah budaya, koleksi fiksi, majalah-majalah populer, dsb. Dengan adanya koleksi-koleksi bacaan ringan yang menyegarkan pikiran sekaligus memperluas wawasan tersebut maka pemustaka akan merasa senang ketika berkunjung ke perpustakaan. Khusus untuk literature anak-anak bisa dilayankan tersendiri dengan menyediakan children corner dengan desain yang santai, sehingga anak-anak bisa belajar sambil bermain dan merasa at home. Dalam hal ini diperlukan kejelian pustakawan untuk menentukan tema dan jenis koleksi yang akan dikembangkan.
            Perpustakaan yang rekreatif tidak akan terwujud tanpa dukungan pustakawan yang mampu mendukung tujuan tersebut. Sikap pustakawan bahkan akan menjadi ujung tombak untuk bisa mewujudkan suasana perpustakaan yang menyenangkan dan  “ngangeni.” Hal ini pasti bisa dilakukan, apabila pustakawan menjiwai profesinya, bersikap simpatik, mampu berempati dan memiliki jiwa altruisme yang tinggi.
            Langkah selanjutnya adalah melakukan promosi perpustakaan kepada masyarakat dengan memanfaatkan berbagai media. Hal ini penting agar perpustakaan yang sudah dikemas secara menarik bisa dikenal oleh masyarakat luas. Dengan promosi yang baik diharapkan perpustakaan yang awalnya terasa asing bagi masyarakat menjadi dikenal dan dekat dengan masyarakat, bahkan menjadi bagian integral dari masyarakat itu sendiri.
            Apabila hal-hal tersebut diatas bisa dilakukan, maka perpustakaan akan menjadi tempat “jujukan” masyarakat, karena masyarakat merasakan manfaat yang nyata akan keberadaan perpustakaan. Perpustakaan menjadi mitra dekat masyarakat untuk menjadi masyarakat informasi yang maju. Dengan demikian misi perpustakaan untuk ikut mencerdaskan bangsa akan berjalan dengan baik. Apakah hal tersebut bisa atau tidak? Hal ini terpulang lagi kepada para pustakawan, apakah mau wewujudkannya atau tidak. Kemauan (niat) akan menjadi langkah pertama. []








            

Selasa, 03 September 2013

Jalan-jalan. . .



CANDI IJO: PESONA DAN MISTERI MASA LALU
DI LERENG GUNUNG IJO


          
  Candi yang satu ini begitu menarik dan unik, sangat berbeda bila dibandingkan dengan candi-candi di kawasan Prambanan pada umumnya. Mengapa demikian..? Apa yang membuatnya berbeda? Salah satunya karena posisinya yang berada di lereng gunung kapur, Gunung Ijo namanya yang artinya gunung yang hijau, merupakan bagian dari gugusan Gunung Seribu yang memanjang di bagian selatan Pulau Jawa. Penamaan sebuah candi biasanya didasarkan pada tiga hal: pertama, berdasarkan legenda yang dikenal masyarakat; kedua, berdasarkan penyebutan yang ada dalam prasasti; ketiga, berdasarkan lokasi di mana candi itu berada. Demikian halnya penamaan Candi Ijo, kompleks percandian bercorak Hindu ini dinamakan sesuai dengan lokasinya yang berada di lereng bukit padas yang bernama Gunung Ijo yang memiliki ketinggian 427 dpl. Sedangkan situs Candi Ijo sendiri berada di ketinggian 375 dpl. Pada umumnya candi dibangun di tempat yang datar, tanahnya subur dan dekat dengan pemukiman. Namun, Candi Ijo justru dibangun di lereng gunung dan tanahnya tidak begitu subur serta jauh dari sumber air.
            Candi Ijo terletak kurang lebih enam kilometer arah selatan Candi Prambanan. Secara administratif berada di wilayah Desa Groyokan, Kelurahan Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman. Untuk mencapai lokasi candi tersebut tidaklah sulit, bisa ditempuh dengan kendaraan motor atau mobil karena jalan menuju ke  situs Candi Ijo sudah beraspal meskipun di beberapa ruas jalan sudah mulai rusak aspalnya. Setelah menempuh perjalanan tiga kilometer ke arah selatan dari Candi Prambanan, maka kita akan menjumpai papan penunjuk ke arah Candi Ijo, yaitu belok ke kiri menyusuri jalan desa Sambirejo. Tak sampai satu kilometer, jalanan mulai menanjak menaiki bukit yang semakin lama semakin menanjak. Pemandangan di kanan kiri jalan didominasi oleh hijaunya hutan jati milik warga. Terkadang kita berpapasan dengan penduduk yang sedang mencari pakan ternak. Di sepanjang jalan juga banyak dijumpai perusahaan pengolah batu untuk dijadikan berbagai macam produk, seperti: untuk lantai atau dinding rumah, atau dikreasi menjadi berbagai macam hiasan. Bahan baku berupa batu putih melimpah di daerah itu, sehingga berkembang beberapa perusahaan pengolah batu. Perjalanan jadi tidak terasa karena kita disuguhi pemandangan alam nan permai di sisi kiri maupun kanan jalan. Hanya saja harus tetap waspada karena kondisi jalan yang belum begitu bagus.
            Setelah menempuh tiga kilometer jalanan yang terus menanjak maka sampailah di kompleks situs Candi Ijo yang berada di sisi kiri jalan, tampak begitu anggun berdiri, seolah menanti untuk disapa. Rasa lelah selama perjalanan pasti terbayar lunas dengan pemandangan indah dari kompleks Candi Ijo. Apabila kita memandang ke arah barat, kita bisa menikmati pemandangan hamparan persawahan yang tampak bagai karpet hijau dan kuning. Lebih jauh ke arah barat tampak hamparan kota Yogyakarta di kejauhan. Apabila cuaca cerah, bahkan kita bisa menikmati pemandangan pesawat terbang yang sedang naik atau mendarat di Bandara Adisutjipto Maguwoharjo. Sungguh merupakan pemandangan yang sangat berkesan. Sedangkan di arah selatan tampak gugusan Pegunungan Seribu yang  mengular ke arah timur seolah tanpa ujung.
           
Kembali ke kompleks Candi Ijo itu sendiri. Menurut catatan sejarah candi ini diperkirakan dibangun pada abad 9-10 masehi, dan ditemukan pertama kali secara tidak sengaja oleh seorang administrator pabrik gula Sorogedug yang bernama H.E. Doorepaal pada tahun 1886 masehi. Waktu itu dia sedang mencari lahan untuk penanaman tebu. Tak lama kemudian C.A. Rosemeier mengunjungi candi tersebut dan menemukan tiga buah arca batu teras lima, berupa arca Ganesa, arca syiwa dan arca tanpa kepala bertangan empat. Tahun 1887 masehi DR. J. Groneman melakukan penggalian arkeologis di sumuran candi induk dan menemukan lembaran emas bertulis, cincin emas, batu mulia, besi dan biji-bijian.
            Keunikan lain dari Candi Ijo yang membedakannya dari candi di kawasan Prambanan adalah bahwa candi ini merupakan kompleks percandian yang berteras-teras, membujur dari barat ke timur dengan 11 teras dengan ketinggian yang berbeda-beda. Teras-teras tersebut semakin meninggi ke belakang yaitu ke arah timur. Bagian belakang (sisi timur) merupakan pusat percandian. Pola semacam ini berbeda dengan pola-pola percandian di dataran Prambanan, yang pada umumnya memiliki pola memusat ke tengah, misalnya Candi Prambanan atau Candi Sewu. Hal ini didasari oleh konsep penataan ruang yang bersifat kosmis, dengan pusat berupa puncak gunung Meru, tempat tinggal para dewa. Adapun pola yang semakin meninggi ke belakang seperti pada Candi Ijo merupakan suatu keunikan tersendiri.
          
  Pada teras-teras kompleks Candi Ijo terdapat 17 gugusan bangunan candi, namun baru enam candi yang sudah selasai dipugar, yaitu Candi Utama yang berada di teras ke-11,  tiga Candi Perwara serta dua candi di teras bawah. Sedangkan sisanya masih masih berupa reruntuhan yang berserakan. Di dalam salah satu Candi Perwara terdapat arca Nandi dengan pahatan yang sangat halus. Salah satu dari candi di teras bawah tampaknya merupakan bangunan dengan struktur kayu, karena di sana ditemukan sisa-sisa umpak batu.
            Keunikan lain dari Candi Ijo, yang merupakan candi pemujaan para dewa,  adalah mengenai pemilihan lokasi dibangunnya candi yaitu berada di lahan yang tidak subur dan jauh dari mata air atau bukan merupakan tempat tinggal dewa. Menurut kitab-kitab India kuno, candi seharusnya di bangun di lokasi yang subur dan dekat dengan mata air, karena lahan atau tanah tersebut merupakan vastu yang merupakan tempat tinggal para dewa. Oleh karena itu harus subur dan dekat dengan sumber air, namun hal tersebut tidak berlaku untuk Candi Ijo. Hal ini masih menjadi pertanyaan para ahli yang belum ditemukan jawabannya, sehingga menyisakan suatu misteri tersendiri.
            Walaupun penelitian terus-menerus dilakukan, namun pesona masa lalu dalam bentuk Candi Ijo ini masih belum sepenuhnya terungkap.  Entah sampai kapan tabir berbagai misteri Candi Ijo ini bisa terkuak.[]


By Mas Mar
Based on survey Nov 12, 2012. 08.00-08.30 A.M

Jumat, 18 Januari 2013

Fenomena Digital Native dan Layanan Perpustakaan


Digital  native dan  Perpustakaan
Digital Native adalah generasi pertama pelajar atau pembelajar yang  terlahir dan berkembang dalam  dunia teknologi digital. Meraka sekarang banyak belajar di universitas, dan kita berharap mereka menggunakan layanan perpustakaan. Perpustakaan universitas harus mengenali fenomena ini, dan merespon dengan mengubah layanan perpustakaan  untuk menjawab kebutuhan generasi digital ini. Pendekatan Layanan perpustakaan harus disesuaikan dengan bagaimana kecenderungan generasi digital dalam belajar. Perpustakaan harus memahami keinginan dan kebutuhan pengguna generasi digital ini karenan mereka mempunyai cara berpikir yang sangat dipengaruhi oleh dunia digital. Untuk itu perpustakaan harus menyesuaikan jenis layanan dan dan format layanan agar sesuai dengan kebutuhan mereka. Apabila tidak, maka perpustakaan akan ditinggalkan oleh para penggunanya, terutama pengguna digital native ini